Senin, 15 Oktober 2012

0 Motif "Duniawi" dalam Bom Bunuh Diri

Acap kali kita tidak habis pikir dengan adanya bom bunuh diri. Apa sesungguhnya  motif pelaku aksi bunuh diri? Meski pelakunya mengklam sebagai ”syahid” – kematian paling terhormat yang mereka percaya – bukankah mereka tidak bisa menyaksikan atau menikmati hasilnya? Kalau benar mereka menginginkan surga, apakah sudah dipastikan mereka benar-benar masuk surga?

Inilah pertanyan-pertanyan yang sering mengganggu kita setiap ada aksi bom bunuh diri. Kita tidak pernah mengerti alasan dari tindakan itu, alasan yang bagi kita sungguh tidak jelas, tidak pasti, dan tidak masuk akal.

Karena dianggap tidak masuk akal, kita memasukkan dorongan tadi pada dorongan-dorongan irasional. Dorongan yang lebih karena nalar dogmatis yang berkaitan fanatisme agama.

Namun kalau Anda pernah menonton film Paradise Now, yang mengisahkan dua calon pelaku bom bunuh diri di Palestina, sebaiknya tunda dulu asumsi-asumsi di atas. Kita fokus melihat kehidupan Said dan Khaled, dua tokoh utama dalam film itu.

Keduanya jauh dari kehidupan religius. Doktrin-doktrin seperti syahid, jihad, dan surga baru muncul sehari sebelum mereka melakukan aksi. Aroma agama menguat ketika mereka disiapkan menjadi ”sepasang penganten”.

Sejak awal Said dan Khaled tidak berafiliasi pada sebuah grup jihad Islam di sana, dan gaya hidup mereka sangat sekuler; baju yang mereka kenakan bukan gamis dan surban, jenggot dan kumis dibiarkan bukan karena alasan agama tapi mereka sudah tidak peduli pada diri sendiri.

Potret pemuda yang sedang putus asa. Mereka merokok – perbuatan yang diharamkan oleh kalangan salafi baik yang ekstrim atau yang moderat – hingga perekrut mereka yang bernama Jamal pun merokok.

Tidak terlihat ciri-ciri Khaled dan Said sebagai orang yang saleh. Ketika Jamal shalat subuh, Said seorang perempuan bernama Suha – perempuan berpendidikan Barat dan sekuler yang mulai mencuri hatinya – hanya cukup menengok Jamal, ia tidak tergerak untuk shalat.

Jamal pun tahu kehidupan Said dan Khaled yang sekuler. Mereka berdua seperti orang kebanyakan di pemuda Palestina bermasalah dengan pekerjaannya, pengangguran dan hidup di sebuah penjara besar yang dijajah Israel.

Kehidupan sangat sulit: air minum, bahan makanan, listrik. Tidak ada masa depan di Palestina. Kondisi keluarga Said tidak jauh berbeda, ibunya perokok, ia tidak menggunakan jilbab besar atau cadar, ia memakai kerudung, yang dipakai oleh perempuan yang telah bersuami, untuk keluar rumah atau baru dikenakan ada laki-laki asing. Ibu Said malah bersyukur ketika dikabarkan bahwa anaknya memperoleh pekerjaan di Israel?penjajah Palestina.

Bagaimana kehidupan dua tokoh ini yang benar-benar sekuler bisa mendorong mereka melakukan aksi bunuh diri yang motifnya sering dianggap hanya dari agama? Meskipun film ini mengambil topik surga, namun surga yang dimaksud adalah surga sekarang: surga dunia, bukan surga-ilahi.

Film ini pun mengajak mereka yang hendak terbang ke surga di sana, sebaiknya mempertimbangkan dulu surga yang di sini. Suha adalah pembawa pesan untuk ”surga yang sekarang”. Contoh surga yang ia sodorkan: ada di Barat. Karena Palestina bukan surga, sedangkan tawaran Jamal adalah ”surga yang nanti”, tak heran banyak obsesi tentang surga ini.

Ihwal penting dari film ini bagaimana dorongan-dorongan non-agama mendominasi niat aksi bom bunuh diri sejak awal: tanah air mereka yang dijajah; ayah Khaled yang pincang karena disiksa tentara Israel; ayah Said yang terpaksa menggadaikan martabatnya menjadi mata-mata Israel untuk menghidupi keluarganya hingga ia dieksekusi mati oleh pihak Palestina.

Keluarga Said pun harus menanggung malu sebagai keluarga yang dicap kolaborator Israel sepanjang masa. Sebagai anak dari seorang ayah yang dicap pengkhianat, Said menerima tekanan batin yang hebat. Namun semua sebab-musabab berpulang ke pihak penjajah: Israel. 

Ia mengucapkan kalimat yang tepat: ”penjajahan telah membuat kami lemah, dan mereka pandai memanfaatkan kelemahan ayahku, sehingga ayahku kehilangan martabat dengan menjadi kolaborator Israel”.

Namun Said tidak pernah menyalahkan ayahnya seperti nasihat ibunya?yang Said pandang sebelum melakukan aksi bunuh diri?bahwa ayahnya ”melakukan hal itu untuk keluarganya”.

Said menyalahkan Israel yang membuat ayahnya lemah sehingga ia harus kehilangan kekuatan dan harga dirinya yang akhirnya terpaksa ”menjual diri” ke pihak musuh. Maka dengan melakukan aksi buruh diri ini Said berharap dua tujuan digenapi: balas dendam untuk ayahnya dan menebus harga diri keluarganya.

Menjadi pahlawan adalah dorongan yang paling kuat bagi para calon aksi bom bunuh diri: Khalid minta fotonya nanti dipajang di mal-mal. Dalam bayangan keduanya, mereka akan bergelar ”as-syahid” (pahlawan martir di bumi) yang dicatat dengan tinta emas dalam sejarah, selalu dingat dan dipuja, namanya akan ditulis di tembok-tembok pinggir jalan dan gedung, posternya akan digantung, rekaman testimoni akan tersebar kemana-mana.

Di langit nanti akan bersama Allah dan ditunggu bidadari. Dalam bayangan mereka nama mereka pun akan terkenal ke seluruh pelosok negeri ”dunia akan tahu”, dan yang paling membanggakan: menggetarkan musuh.

Hanya dengan cara aksi bunuh diri, mereka cepat memperoleh martabat, meraih harga diri dan menjadi pahlawan yang dipuja-puja selamanya. Karena ”hidup dan mati di negeri ini sama saja, kita telah mati sebelum mati, lebih baik mati mulia daripada hidup terhina”.

Sementara kelompok Abu Karim dan Jamal pun ingin membalas dendam atas serangan udara Israel yang berhasil membunuh anggotanya.

Walhasil film ini menarik bagi saya karena menyingkap aspek-aspek duniawi dari kehidupan calon pelaku bom bunuh diri, menekankan pada sisi-sisi ”manusiawi” mereka dan menguraikan motif dan tujuan yang lebih masuk akal, daripada dugaan kita selama ini terhadap aksi mereka; berasal dari doktrin yang tidak masuk akal dan untuk tujuan yang tidak jelas.

Sumber : www.beritasatu.com


Related Post:

0 komentar:

Posting Komentar

Search